Beranda | Artikel
Kewajiban Shalat Jumat
Sabtu, 4 Juni 2022

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَّوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللّٰهِ وَذَرُوا الْبَيْعَۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ٩

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allâh dan tinggalkanlah jual-beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS al-Jumu’ah/62:9).

Kewajiban shalat Jumat merupakan kewajiban besar setiap pekan. Al-hamdulillâh banyak kaum Muslimin nampak memperhatikan hal ini. Namun, dalil dan perincian dalam masalah ini banyak yang belum mengetahuinya. Inilah sedikit keterangan tentang ayat yang memerintahkan shalat Jumat tersebut.

TAFSIR AYAT

Firman Allâh سبحانه وتعالى :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا

Hai orang-orang beriman…

Imam al-Qurthubi رحمه الله berkata, “Firman Allâh ‘hai orang-orang beriman’ adalah pembicaraan kepada orang-orang mukallaf1 dengan ijma’ dan keluar dari pembicaraan ini, yaitu orang-orang sakit, lumpuh, musafi r, budak, dan wanita dengan berdasarkan dalil.”2

Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata, “Sesungguhnya orang-orang yang diperintahkan menghadiri Jumat hanyalah laki-laki merdeka; bukan wanita, budak, dan anak-anak. Dan diberi udzur (atau dimaafkan; yakni, tidak wajib bagi): musafir, orang sakit, pengurus orang sakit, dan halangan-halangan semacamnya, sebagaimana ini disebutkan dalam kitab-kitab furu’ (fikih)”.3

Adapun dalil perkataan Ulama di atas antara lain adalah sabda Nabi ﷺ :

الجُمُعَةُ حَقٌ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِيْ جَمَا عَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ أَوْ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيْضٌ

Jumat itu wajib bagi setiap Muslim dengan berjama’ah, kecuali empat (golongan), yaitu; hamba sahaya, wanita, anak-anak dan orang yang sakit. 4

Hadits ini juga menunjukkan bahwa berjama’ah merupakan syarat shalat Jumat. Imam Ibnu Abi Syaibah رحمه الله meriwayatkan dari Ali bin Abi Thâlib رضي الله عنه , ia berkata:

 لَأ جَمَاعَةَ يَوْمَ جُمُعَةٍ إِلَّا مَعَ الإِمَامِ

Tidak ada jamaah (shalat Jumat) pada hari Jumat kecuali bersama imam. 5

Firman Allâh Ta’ala:

 اِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَّوْمِ الْجُمُعَةِ

apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat…

Yang dimaksudkan dengan seruan di sini adalah adzan Jumat ketika khatib naik mimbar dan duduk di atasnya, sebagaimana dilakukan pada zaman Nabi ﷺ .

عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ قَالَ كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الإِمَامُ عَلَى المِنْبَرِ عَلى عَهْدِ النَّبِيِّ ﷺ وَأَبي بَكْرٍ وَعُمَرَ -رضي الله عنهما- فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ -رضي الله عنه – وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءُ الثَالثَ عَلَى الزَّوْراءِ. قَالَ أَبُو عَبْدِ اللهِ الزَّوْرَاءُ مَوْضِعٌ بِالسُّوْقِ بِالْمَدِيْنَةِ

Dari as-Saib bin Yazid, ia berkata, “Dahulu pada zaman Nabi b , Abu Bakar dan ‘Umar h , adzan pada hari Jumat pertama kalinya adalah ketika imam sudah duduk di atas mimbar. Tatkala ‘Utsmân a (menjadi khalifah, Pen.) orang-orang bertambah banyak, beliau a menambah adzan ketiga di Zaura”. Abu Abdillah (Imam al-Bukhâri v ) berkata, “Az-Zaura’ adalah nama satu tempat di pasar Madinah”. (HR al-Bukhâri, no. 870).

Disebut adzan ketiga karena adzan itu adalah tambahan dari adzan di depan imam setelah naik mimbar dan iqamat shalat.

Imam Ibnu Katsir رحمه الله (8/122) setelah menyebutkan hadits di atas, mengatakan, “maksudnya adalah adzan itu dikumandangkan di atas sebuah rumah yang disebut az-Zaura`, dan az[1]Zaura’ adalah rumah yang paling tinggi di Madinah di dekat masjid.”6

Firman Allâh سبحانه وتعالى :

فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللّٰهِ

maka bersegeralah kamu kepada dzikrullâh (mengingat Allâh).

Syaikh Abdurahmân as-Sa’di رحمه الله berkata, “Allâh سبحانه وتعالى memerintahkan para hamba-Nya, orang-orang Mukmin, untuk menghadiri shalat Jumat dan bersegera kepadanya, dan memperhatikannya sejak adzan shalat kumandangkan.

Yang dimaksud dengan sa’i di sini, adalah bergegas kepadanya, memperhatikannya dan menjadikannya kesibukan terpenting. Maksudnya bukan berlari, karena perbuatan ini terlarang ketikapergi menuju shalat.7

Nabi ﷺ mengancam orang-orang yang wajib menghadiri shalat Jumat tetapi tidak mendatanginya dengan ancaman yang keras, sebagaimana diriwayatkan dari Abdullâh bin Umar c dan Abu Hurairah رضي الله عنه bahwa keduanya mendengar Rasûlullâh ﷺ bersabda di atas mimbarnya:

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمْ الجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللهُ عَلَى قُلُوْبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنْ الْغَافِلِيْنَ

Hendaklah orang yang suka meninggalkan shalat Jum’at menghentikan perbuatan mereka, atau benar-benar Allâh akan menutup hati mereka, kemudian mereka benar-benar menjadi termasuk orang-orang yang lalai. (HR Muslim).

Kemudian yang dimaksud dengan dzikrullâh (mengingat Allâh) dalam ayat ini adalah shalat Jumat dan khutbahnya.

Imam Qurthubi رحمه الله berkata, “Firman Allâh ‘menuju dzikrullâh’ yaitu shalat. Ada yang mengatakan khutbah dan shalat. Ini dikatakan oleh Sa’id bin Jubair. Ibnul ‘Arabi رحمه الله berkata, ‘Yang benar bahwa semuanya wajib, yang pertama adalah khutbah. Ini adalah pendapat para Ulama kita kecuali Abdul-Mâlik bin al-Majisyun; ia berpendapat (mendengarkan) khutbah itu Sunnah. Dalil wajibnya mendengarkan khutbah adalah khutbah itu menyebabkan jual-beli menjadi haram. Seandainya khutbah tidak wajib, niscaya ia tidak akan menyebabkan jual beli menjadi haram, karena sesuatu yang mustahab (sunah) tidak menyebabkan yang mubah menjadi haram.”8

Firman Allâh Ta’ala:

وَذَرُوا الْبَيْعَۗ

dan tinggalkanlah jual beli.

Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata, “Yaitu bersegeralah menuju dzikrullâh dan tinggalkan jual-beli ketika adzan (Jumat) telah dikumandangkan. Oleh karena itu, para Ulama–semoga Allâh meridhai mereka- bersepakat tentang haramnya jual-beli setelah adzan kedua. Namun Ulama berbeda pendapat, apakah jual beli itu sah (atau) tidak ?! Jika ada yang melakukannya. Mereka terbagi menjadi dua pendapat. Zhahir ayat (menunjukkan) bahwa jual beli itu tidak sah sebagaimana telah dijelaskan di dalam tempatnya (kitab fi qih, Pen.). Wallâhu a’lam”.9

Walaupun ayat ini memerintahkan agar meninggalkan jual-beli, tetapi bagi orang yang berkewajiban melaksanakan Jumat juga harus meninggalkan semua pekerjaan setelah adzan dikumandangkan.

Imam al-Alûsi رحمه الله berkata, “Yaitu, tinggalkan mu’amalah (transaksi atau pekerjaan antar sesama manusia), karena jual-beli merupakan majaz (kiasan) dari mu’amalah, sehingga mencakup menjual, membeli, sewa-menyewa, dan bentuk[1]bentuk mu’amalah lainnya. Atau (kata) jual-beli menunjukkan (perbuatan) yang lainnya berdasarkan dalil nash, dan kemungkinan ini yang lebih utama. Perintah (untuk meninggalkan mu’amalah, Pen). Ini menunjukkan wajib, sehingga semua itu (mu’amalah ketika adzan berkumandang) haram. Bahkan telah diriwayatkan dari ‘Atha` رضي الله عنه , keharaman kesenangan yang mubah (pada asalnya), suami menggauli istrinya, menulis tulisan juga (diharamkan).”10

Imam al-Qurthubi رحمه الله berkata, “Allâh سبحانه وتعالى secara khusus menyebut jual-beli, karena jual-beli pekerjaan yang paling banyak dilakukan oleh orang-orang pasar. Namun, orang yang tidak wajib menghadiri shalat Jumat, maka tidak dilarang dari jual-beli”.11

Firman Allâh سبحانه وتعالى :

ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Syaikh Abdurahmân as-Sa’di رحمه الله berkata, “Yang demikian itu lebih baik bagimu daripada kesibukanmu dengan jual-beli dan kamu kehilangan shalat wajib yang termasuk kewajiban yang besar. Jika kamu mengetahui bahwa apa yang ada di sisi Allâh itu lebih baik dan lebih kekal, dan bahwa orang yang lebih mementingkan dunia dari pada agama, maka ia telah merugi dengan kerugian yang sebenarnya, dari arah yang ia menyangka akan mendapatkan keuntungan. Dan perintah meninggalkan jual-beli ini ditetapkan waktunya (yaitu) selama shalat”.12

WANITA YANG SHALAT DI RUMAH

Wanita tidak diwajibkan shalat Jumat, namun dibolehkan mengikuti shalat Jumat di masjid. Jika wanita shalat sendiri di rumahnya maka ia shalat Zhuhur, sebagaimana laki-laki yang tidak bisa mengikuti shalat Jumat.

Syaikh Abdul-‘Aziz bin Bâz رحمه الله pernah ditanya, “Jika aku tidak shalat Jumat bersama jama’ah di masjid, apakah aku shalat di rumah dua raka’at dengan niat Jumat atau aku shalat empat raka’at dengan niat Zhuhur?”

Beliau رحمه الله menjawab, “Barangsiapa tidak menghadiri shalat Jumat bersama umat Islam karena ‘udzur (halangan) syar’i, berupa sakit atau sebab-sebab lainnya, (maka) ia shalat Zhuhur. Demikian juga wanita (yang tidak menghadiri shalat Jumat), (maka) ia shalat Zhuhur. Demikian juga musafi r, penduduk padang pasir/desa (yang tidak menghadiri shalat Jumat), maka mereka shalat Zhuhur. Hal itu ditunjukkan oleh Sunnah (Nabi), dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama; (sedangkan) orang yang menyelisihi dari (pendapat) mereka tidak dianggap. Demikian juga orang yang sengaja meninggalkan shalat Jumat, lalu ia bertaubat kepada Allâh Ta’ala, (maka) ia melakukan shalat Zhuhur”.13

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin رحمه الله juga pernah ditanya: “Berkaitan dengan shalat Jumat bagi wanita, berapa raka’at yang dikerjakan wanita yang shalat di rumahnya? Syukran”.

Beliau menjawab: “Jika wanita shalat bersama imam di masjid, (maka) ia melakukan shalat sepertiimam. Namun jika wanita shalat di rumahnya, (maka) ia melakukan shalat Zhuhur, empat raka’at”.14

MAKMUM MASBUQ DARI SHALAT JUMAT

Makmum masbuq (tertinggal) dari shalat Jumat yang masih mendapatkan raka’at imam, maka ia menggenapi raka’at yang kurang. Seseorang dianggap mendapatkan raka’at imam jika mendapatkan ruku’ bersama imam. Namun jika ia sudah tidak mendapati raka’at imam, maka ia melakukan shalat empat raka’at, yaitu shalat Zhuhur, karena ia telah kehilangan jama’ah yang merupakan syarat shalat Jumat. Hal ini sebagaimana penjelasan dari banyak Ulama, antara lain sebagai berikut.

Ä Imam Ibnul Mundzir رحمه الله berkata di dalam kitab al-Ausath (4/100): “Sebagian Ulama berkata, ‘Barangsiapa mendapati satu raka’at dari shalat Jumat (bersama imam, Pen.), (maka) ia manambah satu raka’at lagi. Jika ia (makmum masbuq, Pen.) mendapati mereka (imam dan makmum) duduk (tasyahud), (maka) ia shalat empat raka’at (yaitu shalat Zhuhur, Pen.). Demikian ini dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, Anas bin Mâlik, Sa’id bin Musayyib, al-Hasan, asy-Sya’bi, ‘Alqomah, al-Aswad, ‘Urwah, an-Nakha’i, dan az-Zuhri”. Kemudian Ibnul-Mundzir menyebutkan riwayat-riwayat itu dengan sanad-sanadnya.15

Ä Ibnu Mas’ud رضي الله عنه berkata,

 مَنْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ فَقَدْ أَدْرَكَ الْجُمْعَةَ وَمَنْ لَمْ يُدْرِكِ الرَّكْعَةَ فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا

Barangsiapa (dari makmum masbuq, Pen.) mendapati satu raka’at (dari shalat Jumat bersama imam, Pen.), (maka) ia telah mandapatkan Jumat. Dan barangsiapa tidak mendapatkan Jumat, hendaklah ia shalat empat raka’at (yaitu shalat Zhuhur, Pen.).16

Ä Ibnu ‘Umar رضي الله عنه berkata,

إِذَا أَدْرَكَ الرَّجُلُ يَوْمَ الْجُمْعَةِ رَكْعَةً؛ صَلَّى إِلَيْهَا أُخْرَى، فَإِذَا وَجَدَهُمْ جُلُوْسًا؛ صَلَّى أَرْبَعًا

Jika seorang laki-laki (dari makmum masbuq, Pen.) pada hari Jumat mendapati satu raka’at (dari shalat Jumat bersama imam, Pen.), (maka) ia menambah lagi satu raka’at. Namun jika mendapati mereka duduk (tasyahud), (maka) ia shalat empat raka’at (yaitu shalat Zhuhur, Pen.). (Riwayat Abdur- Razaq dalam al-Mushannaf, 3/234, sanadnya shahîh).17

PETUNJUK AYAT

Di dalam ayat yang mulia ini terdapat berbagai petunjuk, antara lain:

  • Kewajiban shalat Jumat bagi laki-laki dewasa, merdeka, sehat, dan mukim.
  • Kewajiban bersegera menuju dzikrullâh dengan berjalan tenang.
  • Keharaman jual-beli dan mu’amalah lainnya bagi orang yang wajib Jumat setelah adzan berkumandang.
  • Bagi wanita atau laki-laki yang tidak mengikuti shalat Jumat atau tertinggal, maka melakukan shalat Zhuhur.
  • Urgensi ilmu di dalam ketaatan kepada Allâh. Demikian sedikit penjelasan seputar kewajiban shalat Jumat, semoga bermanfaat. Wallâhu a’lam bish-shawâb.

1 Yaitu orang yang berakal dan telah baligh.

2 Tafsir Qurthubi, Maktabah Syamilah,18/86.

3 Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah, 8/122.

4 HR Abu Dawud, no. 1069. Al-Hakim di dalam al-Mustadrak, no. 1062. Dishahîhkan oleh al-Hakim, adz-Dzahabi, dan al-Albani.

5 Al-Mushannaf, no. 5441.

6 Tafsir Ibnu Katsir, Penerbit Daruth-Thayyibah, 8/122.

7 Tafsir Karimir-Rahmân, surat al-Jumu’ah/62 ayat 9.

8 Tafsir Qurthubi, Maktabah Syamilah, 18/86.

9 Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah, 8/122.

10 Rûhul Ma’ani, 28/103.

11 Tafsir Qurthubi, Maktabah Syamilah, 18/107.

12 Tafsir Karimir-Rahmân, surat al-Jumat ayat 9.

13 Majmû’ Fatâwâ Ibnu Bâz, 12/332.

14 Fatâwâ Nur ‘ala ad-Darb, 17/54.

15 Lihat kitab al-Ahkâm wal Masâ-il al-Muta’alliqah bil-Jumat, karya Syaikh Yahya al-Hajuri,119.

16 Riwayat Abdur-Razaq dalam al-Mushannaf (3/235, no. 5477), Ibnu Abi Syaibah (2/128), dan sanadnya shahîh.

17 Lihat kitab al-Ahkâm wal Masa-il al-Muta’alliqah bil-Jumat, karya Syaikh Yahya al-Hajuri, 1/120.

Majalah As-Sunnah Edisi 06/Thn XVII/Dzulqa’dah 1434H/Oktober 2013M


Artikel asli: https://majalahassunnah.net/tafsir/kewajiban-shalat-jumat/